Kabar PaudInspirasi
Darmawan Danessa Berguru pada Kearifan Alam Raya
Quote :
Melalui tumbuhan, anak-anak PAUD dan juga Anak Berkebutuhan Khusus bisa diajak mengenal alam lebih akrab berikut kearifan budaya
Banyak cara menanamkan nilai-nilai kebajikan pada diri anak. Salah satunya dengan mendekatkan mereka pada tumbuhan. Melalui tumbuhan, anak-anak PAUD dan juga anak berkebutuhan khusus bisa diajak mengenal alam lebih akrab berikut kearifan budaya yang melingkupinya, serta menghargai proses pertumbuhan tanaman dan etos kerja petani.
Di mata Darmawan Denassa (44), tanaman adalah kehidupan. Warga Kelurahan Tamallayang, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan ini menjadikan tanaman tak hanya sekadar sumber ekonomi dan penjaga ekosistem, tetapi juga sarana menjalin ikatan sosiologis dan kultural dengan manusia yang dihidupinya. Tumbuhan dan alam sekitarnya bahkan dia jadikan sebagai wahana pembelajaran bagi anak-anak yang tak lazim dijumpai.
Sejak 13 tahun lalu, alumnus Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin ini menggeluti tanaman sebagai bagian dari pendidikan karakter terhadap anak-anak. Sambil menyelam minum air. Bersahabat dengan alam, berkarib-karib pula dengan anak-anak dari berbagai kalangan.
“Kami mengembangkan kelas komunitas yang melibatkan anak-anak dari berbagai lapisan usia, mulai dari usia prasekolah hingga SMA. Interaksi antarmereka di alam terbuka disisipi dengan muatan edukasi kultural agar mereka menyerap nilai-nilai kebajikan,” kata Darmawan dalam percakapan dengan tim penulis Senin (19/10/2020).
Impian ini bermula tahun 2007, ketika Darmawan mendirikan kawasan konservasi bernama Rumah Hijau Denassa (RHD) di kampung halamannya di Bontonompo, Gowa. Lahan seluas 1 hektar yang mengelilingi rumahnya, dijadikan sebagai wahana menghimpun dan menyelamatkan tanaman endemis Sulawesi. Sudah 10 tahun lebih hutan mini di kampung halaman Denassa itu menjadi arena kegiatan komunitas pendidikan, termasuk anak-anak usia prasekolah hingga siswa sekolah lanjutan tingkat atas.
Praktis, sebagian kegiatan yang disuguhkan kepada komunitas itu relevan dengan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Secara umum, komunitas ini terbuka untuk anak pra sekolah hingga SMA, dengan konsep mengoptimalkan waktu luang mereka untuk belajar sambil bermain. Dibuatlah metode pembelajaran sederhana yang lekat dengan suasana bermain dan menyenangkan.
Mengajari mereka lagu anak-anak daerah Makassar, dari yang masih populer seperti Makrencong-rencong hingga yang ternyata mereka belum tahu seperti Pasikolayya dan nyaris punah Nia Ballakku. Mengajak mereka bermain permainan tradisional, menjelajah hamparan persawahan, menyemai dan menanam bibit tumbuhan. Ada kalanya juga anak-anak diajak keluar lokasi untuk membersihkan pantai dari sampah plastik, mengunjungi sekolah, perkampungan penduduk, belajar pada tokoh dengan mendatangi rumah mereka, menjelajah kota, berkunjung ke toko buku.
Asistensi pelajaran pun dilakukan diikuti beberapa kegiatan seperti belajar bahasa asing, bahasa daerah lain khususnya bugis, budaya dan tradisi seperti cara duduk, cara makan, cara berbicara, dan sebagainya.
Peserta Kelas Komunitas kian banyak karena mereka saling berbagi cerita pengalaman seru rumah dan lingkungan sekitar. Apalagi, menceritakan pengalaman sudah menjadi bagian dari metode belajar di RHD ini. Awalnya, kegiatan ini hanya diikuti 13 anak. Belakangan, dalam waktu singkat telah mencapai 40-an dan kini mendekati 100 anak.
Atas kepeduliannya pada PAUD, pada tahun 2017, Denassa mendapat penghargaan dari Bunda PAUD Indonesia Iriana Joko Widodo. Ayah dari dua anak ini dianggap sebagai sosok yang peduli pada tumbuh kembang dan pendidikan anak usia dini.
Konservasi
Denassa menyemai dan menanam aneka jenis tanaman endemis dan non-endemis Sulawesi, baik yang sudah langka maupun yang masih mudah ditemui di daerah itu. Dia berburu bibit dan benih ke berbagai pelosok provinsi itu hingga ke Sulawesi Barat, keluar-masuk hutan, seraya mengumpulkan cerita rakyat dan kearifan lokal di balik tanaman-tanaman tersebut.
Hingga kini terdapat sekitar 450 jenis tanaman yang telah dilestarikan di RHD. Tanaman tersebut beragam, terdiri dari keluarga kayu-kayuan, bunga-bungaan, kacang-kacangan, perdu, dan buah-buahan. RHD pun benar-benar menjadi rumah hijau yang rindang, sejuk, dan terbuka bagi siapa pun yang berkunjung tanpa dipungut biaya. Denassa juga membagikan bibit tanaman secara gratis kepada siapa saja yang menginginkannya.
Di samping berkonteks konservasi, Denassa juga membuka lebar-lebar pintu RHD bagi siapa pun yang mau belajar. Sejak 2011, ”kelas komunitas” yang diselenggarakan gratis untuk anak-anak dari usia pra sekolah hingga lanjutan tingkat atas. Anak-anak itu datang ke RHD untuk belajar berbagai hal di RHD, mulai dari budaya, tradisi, lingkungan hidup, etika dan moral, sampai matematika.
“Andai bukan masa pandemi Covid-19, tempat ini setiap harinya riuh dengan hiruk pikuk aktivitas sekitar 90 anak-anak,” ujar Denassa.
Setiap bulan, Denassa juga menggelar diskusi tematik bagi warga sekitar lingkungan tempat tinggalnya. RHD juga kerap dikunjungi mahasiswa, peneliti, serta lembaga dari dalam dan luar negeri untuk belajar dan berdiskusi soal berbagai hal.
Atas semua upayanya itu, Denassa sama sekali tak mengharapkan imbalan materi. Bahkan, dia setiap bulan harus mengeluarkan uang dari sakunya sendiri lebih kurang Rp 1 juta untuk membiayai operasional RHD.
Denassa yang tumbuh lekat dengan alam mengklaim, terdapat puluhan jenis tanaman di Sulsel yang terancam punah. Penyebabnya, tekanan alih fungsi lahan hutan, konsumsi secara masif, pertambangan, hingga alasan sepele karena tanaman itu tak disukai manusia.
Sebut misalnya pohon mahoni dan jati yang tak ditanam tak jauh dari tanaman obat-obatan. Beberapa jenis buah lokal seperti coppeng, mirip anggur biasa juga disebut jamblang (Syzygium cumini), bunne atau buni (Antidesma bunius), lobe-lobe, sappang, biraeng atau ara, gonrong-gonrong (Chromolaena odorata), kalumpang, baji (Markisa besar), gamasi (sukun berbiji), bambu kolasa, dan lain-lain.
Di hutan mini itulah kini bercengkerama satwa kecil tergolong langka, seperti cicak terbang, katak coklat, kutilang, dan belasan jenis burung dan satwa lain. Beberapa jenis pohon sengaja ditanam untuk tempat hidup satwa-satwa ini.
Peserta didik dan pengunjung juga disuguhi hamparan tanaman padi pada areal terbuka di sisi hutan mini. Mereka dikenalkan dengan proses tumbuh kembang tanaman, mekanisme pengolahan lahan, dan menghargai kerja keras petani. “Pohon tumbuh tidak tergesa-gesa. Sebuah renungan untuk tidak larut pada sikap instan di tengah gencarnya penggunaan gawai,” kata Denassa seraya menekankan relevansi soal ini juga ada pembiasaan anak untuk antre.
Dengan memilih alam raya sebagai wadah pembelajaran, Denassa juga ingin menanamkan nilai-nilai kehidupan sosial yang harmoni dan menjujung etika moral di tengah pluralisme. Keberagaman jenis pohon di hutan mini sejatinya mengilhami sikap menghargai perbedaan.
Mengamati sifat-sifat pohon pun dengan sendirinya ikut memadukan pelajaran biologi dan nilai-nilai kearifan. Pelajaran menjelaskan bahwa ada dua gerakan yang terjadi pada pohon. Yang pertama, gerakan menuju pusat bumi, dan kedua adalah gerakan menuju sinar matahari. Pohon selalu begerak menuju puncak tertinggi tetapi tidak lupa untuk melakukan pergerakan ke bawah. Memperkuat ekosistem tanah. Menampung titik air agar tidak terjadi banjir.
Pohon selalu berusaha mencapai ketinggian sebagai simbol dari kesuksesan tetapi pohon tidak pernah lupa melakukan gerakan ke bawah sebagai tempatnya berpijak. Coba bayangkan jika semua manusia seperti pohon, mungkin ekosistem kehidupan juga akan semakin kuat. Manusia-manusia seharusnya seperti pohon. Selalu berusaha mencapai cita-cita, menuju puncak tertinggi kehidupan tetapi jangan melupakan saudaranya sesama manusia yang ada di bawah, karena yang di bawah itulah yang memberinya kekuatan sebagai tempatnya berpijak.
Pendidikan karakter juga tersampaikan ke peserta didik ketika mereka berada di hamparan persawahan. Anak diperlihatkan bagaimana padi yang sudah pasti merunduk. Beras yang dihasilkan akan menjadi bahan pangan bagi manusia. “Di balik itu, peran petani dengam kerja kerasnya juga tak patut dilupakan,” tutur Denassa.
Metode holistik
Dengan metode pendidikan holistik ini, anak-anak didorong berperilaku peduli dan mencintai lingkungan, menghargai dan menjaga budayanya, dan berpikir jauh lebih hebat dari generasi yang pernah ada.
Demi mengembangkan konsep itu, Denassa yang berlatar belakang pendidikan sastra Indonesia itu pun memutuskan melepaskan pekerjaannya sebagai dosen luar biasa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Dia ingin mencurahkan seluruh perhatiannya untuk upaya konservasi tanaman-tanaman itu. ”Saya berpikir, tidak banyak orang yang melakukan ini. Kalau tidak ada yang melestarikan, kasihan anak-cucu nanti hanya tahu tanaman dari namanya,” ungkapnya seperti dikutip Kompas (30/10/2014).
Bagi Denassa, melestarikan tanaman sekaligus berarti melestarikan kultur dan identitas orang Makassar. Hal itu karena banyak tanaman memiliki tempat penting dalam ritual, tradisi, ataupun budaya keseharian masyarakat Makassar yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Denassa mencontohkan, salah satunya adalah kayu kepundung atau yang dalam bahasa lokal disebut punaga. Kayu itu adalah bahan baku yang ”wajib” ada dalam setiap pembuatan perahu kecil. ”Minyak dari buahnya biasa dipakai untuk bahan bakar penerangan. Karena itu, dalam kultur pelaut Makassar, kayu kepundung dipercayai bisa ’menerangi’ jalan perahu kembali pulang ke daratan,” paparnya.
Namun, karena kayu tersebut selalu dipakai untuk membuat perahu, persediaan di alam pun terus menipis. Tingginya pemakaian itu tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat untuk menanam kembali kepundung.
Hal serupa terjadi pada pohon katangka, tanaman endemis Sulawesi yang kayunya dianggap masyarakat sebagai kayu kehormatan. Kayu itulah yang dipakai sebagai bahan baku pembangunan masjid pertama saat Islam masuk ke Sulsel pada awal abad ke-17, yakni Masjid Al-Hilal.
Masjid yang masih kokoh berdiri hingga kini itu pun lebih dikenal masyarakat dengan nama Masjid Katangka.
Alangkah bernasnya nilai kearifan yang tergali dari Rumah Hijau Denassa.
BIO DATA
DARMAWAN DENASSA
♦ Lahir: Borongtala, 28 Juli 1976
♦ Istri: Alwiah Hasan
♦ Anak:
- Muhammad Fadil Denassa
- Asyraf Muhammad Denassa
♦ Pendidikan:
- SDN Center Rappokaleleng, 1983-1989
- SMPN 1 Bontonompo, 1989-1992 - SMEA Negeri 1 Limbung, 1992-1995
- Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, 1996-2002 Penghargaan: Tokoh Peduli PAUD (2017)
Sumber: Best Practice PAUD Inklusif Direktorat PAUD
2022-07-13 | 21:50:00