Kabar PaudInspirasi
Maizidah Salas, Membangun PAUD Inklusi untuk Anak TKI
“Saya membangun PAUD Inklusi untuk anak TKI ini karena sedih banyak anak yang tidak dikehendaki lahir oleh ibunya dan mencoba aborsi namun gagal dan ketika lahir justru cacat.”
Kisah sedih perjuangan buruh migran atau TKI yang pulang dengan kondisi hamil hasil hubungan dengan kekasih atau menjadi korban kekerasan seksual di negera tempat mereka bekerja meluncur deras dari Maizidah Salas, aktivis yang mendirikan PAUD Inklusi untuk anak buruh migran di kampung halamannya. Sejumlah sahabat di desanya yang pulang dengan kondisi hamil membuatnya prihatin dan bertekad harus melakukan sesuatu guna menyelamatkan nasib anak-anak tersebut nantinya.
Salas demikian dia biasa dipanggil tidak tega melihat sejumlah anak TKI di kampungnya tidak memperoleh layanan pendidikan. Dengan berbekal pengetahuan dan tekad yang kuat dia mendirikan PAUD. Apalagi diantara anak-anak itu terdapat sejumlah anak berkebutuhan khusus yang lahir akibat orangtuanya tidak menghendaki adanya kehamilan dan takut pulang ke desa karena akan menjadi aib keluarga. Sebelum mengenal PAUD Inklusif, dia telah melakukan hal itu sejak awal mendirikan PAUD sepuluh tahun lalu.
“Ada dua anak ABK mas. Satu anak autisme dan satu tuna daksa. Dengan segela keterbatasan yang ada kita mencoba memenuhi kebutuhan mereka. Belum ada bantuan dari Pemerintah Daerah atau Pusat sejauh ini. Yang menarik PAUD kami ini dikelola oleh anak-anak TKI yang telah lulus Sarjana Pendidikan PAUD. Dengan sumber daya yang ada kami menjalankan PAUD Inklusi di kampong buruh migran ini,” ujar Salas yang ditemui Tim Buku PAUD Inklusi di Wonosobo akhir tahun lalu.
Jika ada aktivis yang melintas bidang secara jomplang, bisa jadi Maizidah Salas adalah satu di antara sedikit contohnya. Perempuan kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, 10 Februari 1976 ini, tak hanya aktif dalam pembelaan hak dan kepentingan buruh migran, tetapi ia juga bergiat dalam Pendidikan Anak Usia Dini.
Penghargaan tertinggi pernah diraihnya dengan terbang ke negeri Paman Sam untuk bertemu dengan ibu negara Amerika Serikat, Ivanka Thrump serta Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompoe atas prestasinya mengadvokasi dan memberdayakan buruh migran. Termasuk mendirikan PAUD di Kampung Buruh Migran desanya.
Setelah melepas status buruh migran, itu menemukan titik balik untuk mengangkat harkat tenaga kerja Indonesia melalu berbagai advokasi. Salah satu kiprahnya yang menonjol adalah mendikrikan Ori School, lembaga menyelenggarakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk anak-anak buruh migran di desa kelahirannya, Tracap, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Desa ini terletak tak jauh dari kaki Gunung Sindoro.
Sebuah loncatan ekstrem. Aktivitas di bidang pendidikan itu mengantar dirinya meraih penghargaan dari Ibu Negara Ibu Negara Iriana Joko Widodo, selaku Bunda PAUD Nasional. “Alhamdulilah, saya menjadi salah satu dari 164 orang penerima penghargaan Anugerah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Tingkat Nasional Tahun 2017,” ujar Salas sebagaimana dikutip dari laman resmi Serikat Buruh Migran Indonesia (21/11/2017).
Menelusuri kiprah Salas ibarat menemukan begitu banyak warna dan puzzle dalam kehidupan seorang perempuan dari pelosok Tanah Air. Pernah jadi buruh migran, kemudian mengadvokasi buruh migran, lalu bergiat di bidang pendidikan. Hampir satu dekade ini, ia bergiat mendirikan dan mengelola PAUD di desanya, Tracap Wonosobo. Ia ingin, anak-anak TKI tetap mendapatkan perhatian, kasih sayang dan pendidikan yang baik.
Terlecut kisah pahit
Langkah Salas bermula dari kejadian pedih. Praktik kekerasan dalam rumah tangga menjadi rutinitas setelah menikah tahun 1993. Dua tahun kemudian, saat si anak masih memerlukan bimbingan, suaminya meninggalkan Salas.
Salas terpaksa mengais rezeki di negeri orang lantaran harus menghidupi anaknya dan membantu ekonomi kedua orangtua. Pasalnya, rumah tangga yang ia bina sudah kandas. Pernikahan dini yang dilakoninya berbuah perceraian. Dia tidak lulus SMA karena harus menjalani kehidupan rumah tangga.
Cita-citanya menjadi menjadi dokter ambyar. Perjalanan nasib justru membawanya menjadi TKI. Melalui seorang calo tenaga kerja, ia melangkahkan kaki ke penampungan TKI di Jakarta. Pada Agustus 1996, dia diberangkatkan ke Korea. "Di sana saya bekerja di sebuah pabrik pemintalan benang,” uca SaLas mengenang, sepeti dikutip dari lintas Blog Kompasiana (25/06/ 2015)
Belum genap dua tahun di Korea, Saras terpaksa kembali ke tanah air. Krisis moneter yang menghantam negeri ginseng tersebut melumpuhkan pabrik tempatnya bekerja. Penyalur Jasa TKI yang mengirimnya pun angkat tangan. Nyaris seluruh pabrik bangkrut.
Pengalaman pahit bekerja di Korea tak lantas membuatnya jera. Pada 2001 ia kembali mencari peruntungan di negeri orang. Taiwan menjadi negara tujuannya. Di negara tersebut, Salas bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dengan kemampuan bahasa Mandarin yang sangat minim, ia bekerja pada seorang majikan di kota Taipei.
Tugasnya teramat berat, setiap hari Saras harus bangun pukul empat pagi. Kesehariannya dimulai dengan mencuci usus babi sebanyak 7 kilogram dan membuat 24 Kg acar. “Majikan saya punya sebuah restoran,” katanya. Singkat cerita, Saras kabur dan menjadi TKW ilegal.
Di sela waktu bekerja, Saras bersama teman-teman aktif mengikuti kegiatan sosial. Pada 2002, ia ikut mendirikan TIMWA( Taiwan Indonesia Migrant Workers Association ) di Chungli. Kegiatan lembaga nirlaba ini adalah menginformasikan perlindungan buruh migran dan membantu teman teman TKW yang bermasalah. Sesekali dia juga hadir di acara Majelis Taklim Yasin Taipei.
Akibat aktivitasnya di TIMWA, agensi pengirim Saras pun mengendus keberadaannya. Ia pun ditangkap polisi di negara tersebut. Saras dijebloskan ke penjara selama 16 hari dan harus hengkang dari Taipei. Ia terpaksa pulang ke Indonesia.
PAUD Inklusi untuk Anak TKI
Kini, Saras berkhidmat untuk anak-anak negeri melalui lembaga PAUD di desa kelahirannya, Tracap. Di tempat itu banyak anak-anak kecil yang ditinggal orangtua bekerja ke luar negeri. Biasanya, mereka hanya dititipkan pada sanak saudara, atau kakek-nenek mereka. Para bocah ini sangat jauh dari perhatian dan kasih sayang orangtua.
Pendidikan mereka juga terbengkalai, para TKI yang kembali dari luar negeri sangat konsumtif. Mereka lebih senang menggunakan uangnya untuk membeli motor atau membangun rumah daripada membangun pendidikan putra-putrinya.
Atas keprihatinannya itulah Saras tergerak untuk mendirikan lembaga PAUD. Lembaga yang diberi nama ORI School itu berdiri 10 Februari 2011.
Tahap awal, peserta didiknya masih berbilang puluhan dengan melibatkan tiga pengajar. Seluruh muridnya anak-anak TKI. Ia tidak memungut biaya sepeser pun dari anak didiknya.
”Kegiatan kami masih terbatas karena biaya operasional Rp 900.000 per bulan ditanggung teman-teman mantan TKI dan dibantu donatur dari Surabaya,” katanya, seperti dikutip Harian Kompas (17/12/2011).
Wajarlah jika Salas harus membatasi jumlah muridnya, meski sebenarnya banyak yang ingin bersekolah di PAUD itu. Setiap hari, anak-anak belajar mulai pukul 07.30 WIB hingga pukul 09.30, namun PAUD ORI belum memiliki gedung. Saras menggunakan rumah orangtuanya yang kosong tak terpakai. Tiap bulan ia merogoh kocek Rp 100.000 untuk biaya listrik dan air.
Salas, yang sekaligus menjadi Kepala Sekolah di PAUD ORI ingin meletakkan dasar karakter yang baik bagi anak-anak TKI di Wonosobo. Satu tujuan Saras, ia tidak ingin anak-anak di Wonosobo mengikuti jejak orangtua mereka sebagai TKI.
Etos perjuangan Salas tidak kenal redup. Baginya, kerja keras memperbaiki nasib TKW dan anak-anaknya baru satu ayunan langkah untuk misi yang panjang.
Dimidium facti qui coepit habet, dia yang memulai telah mengerjakan sebagian tugasnya. (***)
BIO DATA
Maizidah Salas
• Lahir: Wonosobo, Jawa Tengah, 10 Februari 1976
• Suami: Setyo Purnomo Hadi (33)
• Pendidikan: Sarjana Hukum Universitas Bung Karno
• Kegiatan:
- Advokasi TKW dan buruh
- Ketua SBMI Cabang Wonosobo
- Pendiri Perpustakaan Ori dan Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini Ori khusus anak TKI di Wonosobo
Sumber: Best Practice PAUD Inklusif Direktorat PAUD
2022-07-12 | 17:08:00
InfoTerkini
Internalisasi Kebijakan Pembangunan ZI-WBBM Episode 23, Sudah 399.310 Satuan Pendidikan PAUD Dikdasmen Gunakan ARKAS 4.0
Berita 2024-04-27 | 14:30:00
PAUDPEDIA ---- Berbagai platform teknologi hadir untuk mendukung pengelolaan dana Bantuan Operasional Satuan Pendidik...
selengkapnyaInternalisasi Kebijakan Pembangunan ZI-WBBM Episode 23, Sudah 399.310 Satuan Pendidikan PAUD Dikdasmen Gunakan ARKAS 4.0
Berita 2024-04-27 | 14:30:00
PAUDPEDIA ---- Berbagai platform teknologi hadir untuk mendukung pengelolaan dana Bantuan Operasional Satuan Pendidik...
selengkapnyaKemendikbudristek Dorong Dinas Pendidikan Berkolaborasi Susun Strategi Pendampingan Sekolah Tingkatkan Kualitas Layanan
Berita 2024-04-26 | 13:00:00
PAUDPEDIA —- Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan Kebuda...
selengkapnyaTransformasi Digital Membutuhkan Dukungan dan Komitmen Ekosistem Pendidikan
Berita 2024-04-26 | 10:30:00
Jakarta, Kemendikbudristek — Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD Dikdasmen) Kementerian Pendi...
selengkapnyaMenumbuhkan Kesadaran Beragama pada Anak Usia Dini
Ruang Artikel 2024-04-26 | 10:05:00
PAUDPEDIA — Ayah, Bunda dan Sobat PAUD, Pengenalan agama merupakan bagian penting dalam membantu anak memahami nilai-nilai agama, membangun hubungan positif dengan Tuhan dan se...
selengkapnya