Berita
34,51 % Peserta Didik Berpotensi Alami Kekerasan, Modul Pelatihan Penanganan Kekerasan Diluncurkan
Berita 2025-02-11 | 08:38:00
PAUDPEDIA —-- Berdasarkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2024 menunjukan 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual selama hidupnya. Sedangkan 1 dari 10 perempuan pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan selama hidupnya.
Survei Asesmen Nasional Tahun 2022 menunjukkan bahwa 34,51% peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual.
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR, KPPPA) Tahun 2021 menunjukkan bahwa 20% anak laki-laki dan 25,4% anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan.
Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat bahwa kasus kekerasan di satuan pendidikan selama Januari-September 2024 mencapai 36 kasus.
Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2018 oleh KPPPA menyebutkan 1 dari 3 anak usia 13-17 tahun di Indonesia pernah mengalami paling tidak satu jenis kekerasan dalam hidup mereka.
Sebanyak 41% siswa di Indonesia menurut survei PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional tahun 2018 pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam satu bulan. Dan sebanyak 24,4 % peserta didik menurut hasil Asesmen Nasional Tahun 2021 disebutkan berpotensi mengalami insiden perundungan di satuan pendidikan dalam satu tahun.
Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat 88% total kasus kekerasan dan perundungan di lingkungan pendidikan dilaporkan ke Komnas Perempuan pada tahun 2021.
Dan lebih dari 77% dosen menyatakan kekerasan seksual dan perundungan pernah terjadi di lingkungan kampus mereka. Ironisnya, 63 % korban dan saksi mata kekerasan dan perundungan yang terjadi di lingkungan kampus tidak melaporkan tersebut ke pihak kamus atau Satgas Kekerasan.
Pemenuhan Hak Perempuan dan Anak
Mencermati fakta tersebut tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menegaskan bahwa negara harus hadir dengan komitmen kuat dalam pemenuhan hak-hak perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, perundungan dan diskriminasi.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi mengapresiasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia atas komitmennya dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta peningkatan kesetaraan gender di era digital.
Komitmen ini diwujudkan dengan diluncurkannya modul Pelatihan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender di Ranah Elektronik/Online yang merupakan hasil kerjasama UNDP Indonesia dan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lemdiklat Polri).
“Kemajuan di bidang teknologi dapat membawa berbagai tantangan, salah satunya adalah meningkatnya Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Oleh karena itu, komitmen ini sangat penting untuk mendukung upaya pemerintah dalam mengatasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak serta pengembangan potensi perempuan dan anak dalam membangun dan memajukan bangsa,” tutur Menteri PPPA saat menghadiri peluncuran modul tersebut.
Menyadari tantangan ini, Kemen PPPA berkomitmen untuk mendorong kesetaraan akses dan partisipasi perempuan di sektor digital. Kami terus berupaya memperluas infrastruktur digital yang inklusif, meningkatkan literasi digital bagi perempuan, dan mendorong lebih banyak perempuan untuk terlibat dalam bidang Science, Technology, Engineering, Arts dan Mathematics (STEAM).
“Selain itu, kami juga berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mengatasi bias gender dalam industri teknologi, termasuk mendukung perempuan pendiri startup agar lebih mudah mendapatkan akses pendanaan,” pungkas Menteri PPPA.
Tiga Program Prioritas
Menteri PPPA juga menyampaikan pihaknya terus memperkuat program-program strategis untuk mendukung cita-cita Indonesia Emas 2045. Menteri PPPA memaparkan tiga program prioritas Kemen PPPA sebagai bentuk nyata komitmen terhadap pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Program tersebut meliputi Ruang Bersama Indonesia (RBI), perluasan fungsi call center SAPA 129, dan penguatan Satu Data Perempuan dan Anak berbasis desa. Berbagai regulasi yang ada perlu diperkuat dan diimplementasikan secara lebih efektif agar dapat memberikan perlindungan yang optimal dan menanggapi dinamika kekerasan yang terus berkembang, terutama di ranah digital.
Diperlukan kerja dan kolaborasi lintas sektor untuk mengoptimalkan implementasi berbagai peraturan tersebut, termasuk dengan Aparat Penegak Hukum (APH) guna memastikan pencegahan, penanganan, dan penegakan hukum yang lebih efektif dan berperspektif gender.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 yang bersifat lex specialis ini diharapkan mampu menyediakan landasan hukum materil dan formil sekaligus, sehingga dapat menjamin kepastian hukum dan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dan sebagai jaminan perlindungan perempuan dari kekerasan, khususnya kekerasan seksual.
Selain itu, koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kerja sama internasional, dan keterlibatan masyarakat juga sangat penting agar dapat mewujudkan kondisi lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.
Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan POLRI, Komjen Pol. Prof. Chryshnanda menegaskan isu terkait kekerasan terhadap perempuan menjadi perhatian khusus Polri karena sejalan dengan keutamaan Polri, yaitu mengedepankan kemanusiaan dan keteraturan sosial.
“Dengan adanya modul ini, tentu akan meningkatkan kualitas APH, dalam hal ini para penyidik dalam penanganan kekerasan berbasis gender di ranah elektronik. Modul ini juga menjadi pembelajaran yang akan terus dikembangkan sehingga dapat meningkatkan kepekaan dan kepedulian para peserta didik terhadap isu perempuan dan anak,” ujar Komjen Pol. Prof. Chryshnanda.
Deputy Resident Representative UNDP Indonesia, Ms. Sujala Pant menyampaikan apresiasi atas peluncuran Modul Pelatihan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender di Ranah Elektronik. Ia menyampaikan peluncuran modul ini mencerminkan komitmen bersama dalam memperkuat sistem peradilan di Indonesia, melindungi korban KBGO, dan mendorong pendekatan penegakan hukum yang efektif.
“Saya ingin menyampaikan apresiasi yang mendalam kepada Lemdiklat POLRI, UNDP Indonesia, dan Kepolisian Nasional Korea atas dedikasi dan dukungan mereka dalam mengembangkan modul penting ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta atas komitmen Anda dalam memperjuangkan isu yang sangat krusial ini. Mari kita terus bekerja bersama untuk melindungi kelompok yang paling rentan dan membangun masyarakat yang lebih tangguh dan berdaya,” pungkas Ms. Sujala Pant.
Penyunting : Eko Harsono
Sumber : Siaran Pers Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak